Jika kita melihat terutama di Jepang, Beijing, New York, Singapura, waktu disana amat sangat dihargai.Seluruh penjuru kota bergerak dinamik dan benar-benar hidup dari waktu ke waktu, bagai detak nadi yang tak pernah berhenti berdenyut.
Jika kita mau mengamati juga, sebenarnya mungkin hanya di Indonesialah fenomena servants dan nannies tumbuh subur,terutama di perkotaan dimana banyak wanita berkarier walau telah berumahtangga.
Dua hal yang berseberangan, “cara menghargai waktu” dan “fenomena servants-nannies yang tumbuh subur”, sebenarnya didasari oleh satu inti masalah yang sama, yaitu kemandirian.
Begitu banyak wanita karier yang mempercayakan kehidupan rumahtangganya kepada para servants, dan perawatan anak2nya kepada para nannies/baby sitter,itu semua dikarenakan posisi karier mereka yang sayang bila dilepas,sehingga acapkali mereka lupa kewajibannya sebagai istri dari seorang suami adalah mengurus rumahtangga dan anak, bukannya mencari penghasilan.
Disatu sisi mereka sangat mandiri,tidak bergantung terus menerus pada suami, namun di sisi lain sebenarnya mereka amat sangat bergantung kepada para tangan kanan tersebut[servants-nannies].
Seringkali aku mengamati kehidupan wanita karier di lingkungan keluargaku,dan lingkungan sekitar rumahku,betapa kebutuhan suami dan anak acapkali diserahkan total kepada para servants-nannies. Bahkan di akhir minggu, saat kantor tutup dan tidak ada aktivitas kerja sekalipun, boleh jadi pekerjaan servants-nannies itu malah bertambah banyak, karena sang “Boss Wanita” berada di rumah dan menginstruksikan extra pekerjaan2 rumah yang dalam kesehariannya tidak dilakukan, seperti membongkar lemari pakaian, membongkar gudang, memasak makanan2 spesial,dll.
Kembali ke awal bahasan, kuamati di luar negeri banyak wanita-bekerja membawa anak dalam gendongan, dlm kereta dorong, dlm mobil.Kadang kulihat wanita karier yang di sela2 kesibukannya, menyempatkan diri berbelanja ke supermarket membawa kantung2 belanja yang dibopong sendiri.
Aku juga kerap berpikir, begitu banyak peralatan elektrik yang menunjang pekerjaan rumah tangga dengan segala kecanggihannya.Mesin cuci otomatis yang cuciannya langsung kering,mesin cuci piring, microwave, bahkan kompor dengan timer,juga penyedot debu, semua didesain dengan kemudahan bagi penggunanya.
Di luar negeri semua itu dipergunakan dengan tepat dan optimal, sehingga tanpa bantuan servantspun kehidupan rumahtangga bisa berjalan dengan segala keteraturannya.
Lantas apa yang membuat wanita karier di luar negeri dan wanita karier di Indonesia sangat BERBEDA ? Jawabannya adalah kemandirian.
Kemandirian wanita karier di luar negeri membuat mereka sangat menghargai waktu.Sehingga seringkali segala hal dibuat based on time.Dari saat bangun pagi, siang, hingga malam menjelang, waktu dibagi dengan cermat, dengan pemanfaatan kecanggihan peralatan elektrik yang dapat menunjang. Sedangkan di Indonesia aku melihat,justru karier dijadikan sebagai tameng untuk tidak melakukan kewajiban2 sebagai istri.Dengan alasan lelah setelah bekerja seharian, dengan alasan waktunya habis untuk bekerja, gaji dan penghasilan yang mereka peroleh justru dipakai untuk membayar para servants dan nannies.. Bahkan pada kenyataannya, peralatan elektrik yang dibeli bukanlah untuk dipergunakan sendiri,melainkan menjadi UKURAN tingkat kesuksesan., begitu pula dengan jumlah servants dan nannies.
Aku sering berpikir, andai aku kelak menjadi wanita karier yang mempunyai anak dan suami, aku tidak ingin menerapkan pola pemikiran wanita karier Indonesia dalam kehidupan rumahtanggaku. Sebab menjadi istri dari seorang suami pada dasarnya memiliki konsekuensi untuk melakukan kewajiban2 selaku istri. Aku ingin memasakkan makanan untuk suami dan anakku, aku ingin menyiapkan pakaian suami dan anakku, aku ingin mengawal anak2ku untuk tumbuh dan berkembang,mendidiknya terutama dalam masa2 awal pembentukan pribadinya. Tetapi akupun tidak akan menyia2kan potensi yang ada pada diriku untuk mengembangkan diri dan memanfaatkannya untuk mendapatkan penghasilan juga.
Itulah yang kusebut mandiri dalam status sebagai istri..